Senin, 28 Oktober 2013

Bab 1 (Bagian 4)

Nuri tertegun. Mirah teramat jarang berpikir tentang agama sebelumnya. Wajahnya terlihat tenang ketika menjawab pertanyaan Nuri.

Mirah bahkan memutuskan berjilbab tidak lama setelah dia mengalami musibah tersebut. Mirah yang dulunya modis dan gaul berubah menjadi religius. Dia bukan Mirah yang dulu lagi. Hanya cerianya saja yang tidak berubah. Karena Mirah berjilbab, Nuri pun memutuskan untuk ikut berjilbab. Pada awalnya hanya karena ikut-ikutan saja dan pengen tahu rasanya.Tapi lama kelamaan Nuri merasa ketenangan hati setelah memakai jilbab, dan bila dia melepaskan jilbabnya hatinya menjadi tidak tenang.

“Hoi, melamun neng.”

Suara Mirah membuat Nuri gelagapan. Lamunannya terhenti.

“Jadi makan apa? Kalau aku makan mie goreng aja.Kalau Nuri?”

“Sama deh. Minumnya es jeruk.”

“Mie goreng dan es jeruk dua mbak.”

Pelayan restoran mencatat pesanan lalu berlalu dari hadapan mereka.

“Nur, aku dilamar.” Mirah berbicara sambil menunduk.Pikiran Nuri yang tadinya bermain-main entah ke mana, menjadi fokus karenaperkataan Mirah.

“Dilamar? Dilamar siapa Mir?” Nuri menatap wajahsahabatnya yang masih menunduk.

“Said. Teman SMA kita dulu.” Mirah menatap Nuri dengan wajah memerah. Entah karena malu atau sebab lain.
Nuri mencoba mengingat-ingat nama temannya yangbernama Said. Tapi di otaknya tidak mampu mengingat nama teman SMA yang bernamaSaid.

“Said? Said yang mana Mir?” Nuri menyerah. Dia tidak mampu mengingat nama tersebut.

“Temannya Yusuf kamu.”

Nuri hampir tersedak mendengar nama itu disebutkan.Nama pria yang menjadi cinta pertamanya. Segera dia meminum air jeruknya. Mirah  jadi kasihan melihat Nuri.

“Kamu gak papa?”

“Iya, gak papa.”

Nuri menghirup napas sejenak.

“Said yang mana, aku gak ingat.” Nuri berkatajujur.

“Mungkin kamu tidak kenal, soalnya anaknya memangagak pendiam. Dia anak kelas tiga IPA lima. Anaknya putih dan lumayan alim. Dia ikut remaja mesjid dulunya.” Mirah menjawab sambil membenahi posisi jilbabnya.Nuri masih mencoba-coba mengingat nama tersebut.

“Ehmm. Kalian pacaran sejak kapan?”

“Haha. Gak pacaran lagi. Ketemu lagi baru dua bulanlalu. Terus dia melamar aku.”

“Ketemu gimana maksudnya? Kok dia langsung melamar?”Nuri bertanya penasaran.

“Entahlah. Takdir mungkin. Kami bertemu di sekolahtempat aku ngajar. Dia lagi mengantar kemenakannya.”

“Terus ...” Nuri ingin mengetahui kelanjutanceritanya.

“Terus aku menyapanya. Kamu tahu, dia tersipu malu ketikaaku menyapanya. Sebulan kami tidak bertemu, hingga akhirnya dia datang lagi.Dia datang membawa kejutan yang sangat besar.”

“Dan ... .”

Sabtu, 26 Oktober 2013

bab 1 (Bagian 3)



Mirah menoleh ke belakang dan melihat sahabatnya telah berada di belakangnya. Nuri, memakai jilbab biru yang lebar, nampak anggun. Senyumnya yang tenang berbeda jauh dengan Nuri yang terlihat sangat ceria.
            “Nuri.” Senyum renyah Mirah terlihat mengembang. Teriaknya yang agak keras membuat orang-orang di sekitarnya melirik ke arah mereka. Terpaksa Nuri memberi tanda dengan memancangkan jari telunjuknya di bibirnya agar Mirah mengecilkan sedikit suaranya.
            “Gimana, novel kamu dah ada yang laku gak?” Canda Nuri.
            “Haha. Lumayanlah, tadi sempat ada yang beli. Kamu gak mau beli? Lumayan buat nambah koleksi buku kamu.” Mirah melirik Nuri dengan muka merayu.
            “Haha. Gak deh. Entar kamu lebih kaya dari aku kalau aku beli novel kamu. Soalnya kamu dapat royaltinya banyak.” Canda Nuri sambil mencubit hidung sahabatnya.
            “Aduh, udah gak beli malah cubitin hidung aku. Belum diasuransiin tahu.” Mirah memasang muka manyunnya. Nuri hanya tersenyum geli.
            “Haha. Ingat umur.” Canda Nuri lagi.
            “What? Umur memang sudah 25-an, tapi muka masih abege getu loh. Maklum bergaulnya ma anak-anak.”
            Nuri hanya tersenyum dan tak menanggapi candaan terakhir sahabatnya itu. Dia teringat tujuannya ke sini adalah untuk ditraktir.
            “Jadi kita makan di mana?”
            “Ehmm, kamu maunya di mana?” Mirah balik bertanya.
            “Mie Merik aja.”
            “Ayo.”
            By the way, bukunya aku beli deh. Lumayan buat alas tidur.”
            “Huh.” Mirah berpura-pura kesal.
            Nuri menyikut Mirah pelan sambil tertawa. Mirah mengelak dari sikutan sahabatnya itu.
            Puas becanda, mereka berdua berjalan ke arah kasir, membayar novel yang dibeli Nuri.
            Ketika mereka tiba di tempat kasir, seorang pengunjung yang antri melihat ke arah Mirah, mencoba mengingat-ingat kapan dia melihat wajah tersebut. Dia tidak menyadari bahwa wajah itu terkadang ada di bagian belakang novel-novel yang dibuat oleh Mirah atau mungkin saja dia pernah melihatnya ketika Mirah diundang menjadi pembicara di sebuah acara yang membahas tentang novel-novelnya. Mirah hanya tersenyum melihat wanita tersebut melihatnya. Sang pengunjung membalas senyumnya sambil tetap mencoba mengingat.
“Terima kasih.”
Nuri mengucapkan terima kasih setelah kasir tersebut menyelesaikan tugasnya.
“Sama-sama.”
Kasir tersebut menjawab ramah.
***
            Sepanjang perjalanan, Mirah terlihat sangat ceria. Wanita berjilbab ini memang selalu ceria, tapi Nuri tidak pernah melihat dia seceria ini. Sedari dulu memang Nuri merasa persahabatannya dengan Mirah adalah hubungan yang unik. Nuri perlu penyeimbang. Nuri merasa Mirah adalah orang yang tepat untuk  menjadi sahabat.
            Dulu waktu SMA, Mirah adalah teman jalan Nuri. Mereka dulu punya geng. Geng The First namanya. Soalnya geng tersebut memang terdiri dari anak-anak orang yang mempunyai status yang terhormat di SMA Merdeka. SMA Merdeka merupakan salah satu sekolah favorit di Makassar waktu itu.
Orang tua Mirah dulunya termasuk orang yang berada, walau tidak sekaya keluarga Nuri. Orang tua Mirah adalah dokter bedah terkenal di Makassar. Hingga suatu musibah menimpa mereka ketika melakukan perjalanan liburan ke Malino.  Mereka mengalami kecelakaan ditabrak oleh sebuah mobil yang melaju kencang. Supir mobil yang menabrak mereka juga tewas. Ayah Mirah, dr. Ferry, dan ibunya. dr. Yanti,  tewas di tempat karena posisi mereka yang berada di bagian paling depan. Sedangkan adik Mirah satu-satunya, Riki, harus dirawat selama berhari-hari di ruang ICU. Untunglah dia masih diberikan umur yang panjang oleh Allah.
            Hanya Mirah yang selamat dan tidak mengalami musibah apapun. Dia hanya mengalami sedikit lecet di kepalanya. Mirah sempat down karena musibah tersebut. Dia sempat menangis dan tidak mau keluar rumah selama berhari-hari. Nuri yang merasa kasihan mengajak Mirah untuk tinggal di rumahnya sampai dia dapat bangkit kembali. Orang tua Nuri setuju dengan keinginan Mirah. Keluarga Nuri juga yang merawat Riki di rumah sakit dan mengurus pemakaman orang tua Mirah. Karena memang keluarga Mirah sudah tidak ada yang berdomisili di Makassar. Nenek dan kakek Mirah pun telah dipanggil ke hadirat-Nya bertahun-tahun yang lalu. Kejadian itu menyebabkan Mirah merasa sangat dekat dengan Nuri.
            Sejak musibah itu Mirah seakan mengalami pencerahan. Dari dulunya gadis yang manja menjadi mandiri. Setelah Riki sembuh, dia pun kembali ke rumah mereka di Pettarani. Mirah mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga Nuri yang telah membantu mereka. Mirah bertekad untuk hidup mandiri.
            “Mirah yakin bisa hidup berdua dengan Riki?”
            “Entahlah. Saya hanya bisa pasrah dengan takdir Allah.”

Jumat, 25 Oktober 2013

Bab 1 (bagian 2)



Setelah mengecilkan volume audionya, Nuri menyambung lagi pembicaraannya. Terdengar suara Mirah mencari dirinya.
            “Nur, halo. Masih di sana?”
            “Hadir Jeng.”
            “Kirain dah tidur. Oh, lanjut lagi pembicaraan tadi. Honor menulis aku tuh tidak segede hasil bisnis kamu Jeng. Jadi ya aku beda dengan kamu. Kalau aku tujuannya memang buat cari makan, kalau kamu entah cari apa. Hehe.”
            “Upss. Rezeki itu bukan hanya dari segi material aja jeng. Kadang aku iri ma kamu. Kamu bisa menggapai cita-cita kamu. Kamu punya semangat yang besar dalam menjalani hidup ini. Aku harus belajar banyak dari Mirah. Aku kagum ma kamu dan senang bersahabat denganmu.”
            “Wah, jadi terharu. Jangan buat aku sedih gitu dong neng. Jalan hidup tiap orang kan berbeda-beda. Aku aja kalau lagi bokek pengen seperti kamu. Jadi orang kaya yang segala kebutuhan hidupnya terpenuhi. Tapi aku nyadar, jalan hidup aku tidak seperti kamu. Jalan hidup aku ya dengan bekerja keras dan mencari segala kemungkinan. Kamu kan tahu aku anak yatim piatu.” Nada suara Mirah menurun, berubah menjadi sedih.
              Nuri ikut merasakan kesedihan itu.
            “Hoi, jadi gimana? Jadi gak aku traktir?” Mirah kembali fokus ke tujuan utamanya. Dia tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan.
            “Haha. Kenapa kamu gak ngajak cowok aja. Entar kita dikira pacaran lagi.” Canda Nuri.
            “Sembarangan. Kata pak ustadz, dosa tahu kalau berduaan ma cowok. Jadi kamu mau kan?”
            “Aku masih capek jeng. Gimana kalau entar sore aja?” Tawar Nuri.
            “Ok. Entar kamu sms aku ya kalau siap. Kita ketemunya di toko buku Medio aja. Sekalian aku mau melihat-lihat buku aku.”
            “Sipp deh.”
            “Kalau gitu udahan dulu ya. Met tidur sobat. Assalamu’alaikum”
            “Wa’alaikumussalam.” Nuri menutup telepon genggamnya, memejamkan matanya. Dia merasa kelelahan itu muncul lagi.
            What a life!
            Dia berharap dapat bermimpi indah dalam tidurnya kali ini.
***
            Mirah menatap buku yang ada di rak novel. Ada rasa bangga dalam dirinya. Matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang melihat mainan yang dia idamkan sejak lama. Di cover buku tersebut tertulis namanya. Mirah Mustika. Senja di Ufuk Rindu judulnya. Gambar pantai yang indah menjadi cover bukunya.
            Mirah mengambil novel tersebut dan membuka halaman demi halaman. Dia merasa cukup puas dengan design serta lay out novelnya. Dia membuka bagian paling belakang dari novelnya tersebut. Foto wajahnya yang menoleh ke samping terlihat di biodata penulis.
            Alhamdulillah.
            Mirah memuji karunia Allah dalam hatinya.
            Suara hape yang menyala mengagetkan dirinya. Terdengar bunyi suara kokok ayam dari hape tersebut. Orang-orang menatap Mirah, suara kokok ayam tersebut terdengar cukup keras. Mirah lupa menyesuaikan volumenya. Dengan tergesa-gesa Mirah mencari hape yang dibawanya di tasnya. Tangannya merogoh-rogoh tasnya. Dia melirik ke dalam tasnya, hapenya terselip di antara pernik-pernik yang ada di dalam tasnya. Dapat!
Mirah melirik nama orang yang tertera di layar hapenya.  Nuri yang menghubunginya. Wajah Mirah berubah menjadi sumringah.
            “Assalamu’alaikum sobat.”
            “Wa’alaikumussalam. Ada di mana?” Nuri bertanya tanpa basa-basi.
            “Di toko buku Medio. Kamu di mana?”
            “Aku lagi on the way  ke sana. Ya, udah tunggu aku di sana.”
            “Ok.”
            “Assalamualaikum.”
            ‘Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”
            Mirah memasukkan hapenya kembail ke dalam tasnya. Namun sebelumnya dia mengecilkan dulu volume dering hapenya. Suara kokok ayam tadi bisa membuat dia menjadi perhatian orang di toko buku ini. Untung saja dia tidak memilih bunyi hewan yang lain, bunyi tapak kaki kuda sedang berlari misalnya. Nanti orang mengira ada taman safari di tengah toko buku.
Setelah menyimpan hapenya, dia memutari rak bagian novel tersebut dan mengambil satu nover yang bersampul best seller di covernya. Dia membandingkan novel yang ditulisnya dengan novel best seller tersebut sejenak. Dia membuka halaman demi halaman dan terlarut dalam ceritanya. Ini mirip dengan penelitian baginya. Terkadang kita harus belajar dari karya orang lain untuk menghasilkan karya yang bagus. Saking seriusnya, Mirah seperti orang autis yang ada dalam toko buku. Perhatiannya hanya tertuju pada satu hal, membaca buku. Tak dipedulikannya orang yang berlalu lalang di belakangnya.
            “Mirah.” Bisikan lembut terdengar di telinga Mirah. Suara yang merubah sense dalam jiwanya, dari serius menjadi penuh ceria.

Bab 1 (bagian 1)



1
            Upps. Sampai juga di rumah!
            Nuri membuka pintu kamarnya. Terasa segar! Tercium aroma wewangian parfum ruangan kesukaannya dari kamarnya. Nuri menutup matanya dan menghirup aroma tersebut dalam-dalam. Dalam pikirannya terbayang suasana taman yang penuh dengan bunga-bungaan. Harumnya menyerbak memasuki hidungnya, memberi rasa nyaman dan mengobati rasa penat. Ada perasaan nyaman yang hadir di jiwa Nuri.
Kamar yang dia rindukan. Sudah seminggu ini dia sibuk hilir mudik ke sana ke mari jauh dari kenyamanan rumahnya. Menjalankan suatu hidup yang penuh dengan kesibukan. Termasuk kegiatan yang telah dilewatinya ini. Syukurlah semua selesai sudah.
Tito, adeknya sudah lebih dahulu masuk ke dalam kamarnya. Tito ditugaskan menemaninya oleh ibunya, sekalian belajar bisnis kata ibunya. Padahal Tito masih SMA.  Tapi dasar Tito masih berjiwa remaja. Dia lebih sibuk dengan mainannya dan  mencari kaset game di Jakarta daripada mengikuti kegiatan Nuri.
            Telepon genggam di tangan Nuri bergetar. Tangan Nuri merasakan getaran tersebut bermain-main di kulitnya yang lembut. Nuri menatap malas ke arah telepon genggamnya. Bola matanya sayu dan menyipit. Nuri berharap bukan panggilan kerjaan lagi untuknya. Di layar teleponnya, terlihat wajah seseorang yang sangat dikenalnya. Mirah, sahabat akrabnya sejak SMA. Nuri menjawab teleponnya, berharap ada sesuatu yang penting. Dia merasa lelah sekali, maklum saja dia baru saja pulang dari Jakarta. Badannya masih terasa pegal, dan dia butuh istirahat.
            “Assalamu’alaykum.” Salam Nuri setelah mengangkat teleponnya.
            “Hoi Eka Nuri Kusumaningsih. Ke mana saja? kok baru diangkat.” Suara Mirah yang ceria membuat kantuk Nuri sedikit menghilang. Suara tersebut tidak juga berubah, mengagetkan Nuri namun juga membuat dirinya terkadang ikut menjadi bersemangat karenanya.
            “Hoi, Mirah Mustika, kamu gak sopan ya. Balas dulu dong salamnya.” Sambung Nuri sambil tersenyum. Nuri mengubah posisi tubuhnya. Dia duduk di tepi ranjang, sambil memeluk bantal.
            “Oia, lupa. Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Udah berapa kali aku telepon, kok telepon kamu tidak aktif? Sibuk apaan?”
            “Aku baru pulang dari Jakarta. Masih capek. Tadi mungkin waktu kamu nelepon aku masih di pesawat.” Nuri menjawab sambil mengubah lagi posisi tubuhnya. Dia tiduran sambil memeluk bantal yang dipeluknya erat. Terasa lebih menyenangkan dari kamar hotel manapun. Tiada tempat seindah rumah.
            “Ngapain di Jakarta Jeng?”
            “Nyari makan Neng. Aku capek banget nih, maklum acaranya padat. Hehe. Banyak fans.” Nuri menghela napas sejenak. Mirah menggoda dengan ikut-ikutan menghela napas.
“Aku diundang jadi pembicara dalam acara motivasi bisnis mengantikan ayah oleh Sekolah Bisnis Internasional milik rekan bisnis ayah di sana. Soalnya ayah lagi urusan bisnis ke Singapura.”
            “Haha. Kalau kamu bilang ke Jakarta buat cari makan, nah kalau saya cari berlian dong. Kamu kan pebisnis sukses, buat apa juga acara kayak gituan. Paling buat kamu honornya gak seberapa.”
            “Hoho, jangan salah jeng Mirah. Semua ini berkaitan. Jadi pembicara dalam acara seperti itu merupakan bagian dari pencitraan. You know, bisnis itu perlu pencitraan. Kalau ada televisi yang meliput, nama perusahaan aku akan lebih terkenal. Makanya kamu gabung aja dengan perusahaan aku, biar kamu jadi staff aku dan bisa aku suruh-suruh. Hahaha.” Canda Nuri.
            “Ogah. Mending aku jadi guru TK aja. Ketemu Riko ama Amay, muridku yang lucu-lucu. Kerja di perusahaan kamu bikin stress. Entar aku jadi banyak rambut putih. Hahaha.”
            Nuri terdiam. Raut wajahnya berubah.  Ada rasa tidak nyaman dan iri mendengar perkataan sahabatnya itu. Mirah nampak sangat menikmati pekerjaannya. Ada nuansa suka dalam ucapannya. Mengingatkan Nuri akan sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya. Nuri tak bersuara beberapa detik. Sampai Mirah memutuskan melanjutkan ucapan-ucapannya. 
            “Hoi, dari pada kamu bengong, mending kita main aja ke Mal Panakkukkang. Nonton atau makan kek. Tenang, biar saya saja yang traktir. Soalnya honor menulisku baru aja keluar. Ok?”
            “Honor menulis apa lagi jeng? Makin exist aja sebagai penulis. Aku jadi iri dan pengen menulis juga. Kira-kira kamu mau gak mengajarin aku cara menulis buku?” Nuri memuji tulus.
            “Itu loh, novelku yang baru sudah terbit. Aku tadi ditelepon penerbit, dikabarin kalau royalti aku dah dikirim. Alhamdulillah. Kalau kamu mau belajar nulis, gampang saja sebenarnya, asal ada niat aja dulu, ma usaha. Tapi buat kamu honornya kecil. Hahaha. Ndak sebanding lah ma bisnis kamu.” Suara tawa Mirah terdengar keras di telinga Nuri. Memekakkan telinga. Nuri lalu mengecilkan volume audio hapenya dengan mengklik tombol di samping hapenya. Mungkin saja hal tersebut karena volume audio hapenya yang terlalu besar.

Seindah Puisi Rindu (Sebuah Novel)



Prolog

Pak Hartawan menarik napas pelan memasuki rongga dadanya. Keningnya berkerut. Dia menatap Nuri, memasuki ruang hati anaknya dan bertanya. Di lubuk hatinya, dia berharap Nuri memilih lelaki yang –menurutnya- lebih pantas sebagai pasangan hidupnya. 
“Baiklah. Bagaimana perasaan kamu terhadap Yusuf nak?” Suara itu lembut, namun membuat jantung Nuri berdetak kencang.
Nuri memberanikan diri menegakkan wajahnya. Untuk pertama kalinya dia menyatakan perasaan di hadapan Yusuf sekaligus menjawab pertanyaan Ayahnya. Perasaan rindu yang selama ini dia pendam, akhirnya harus tumpah malam itu disaksikan oleh orang-orang yang disayanginya.
Mata Nuri basah. Dia tidak mampu menahan lagi. Lehernya seperti tercekak kaku. Namun dia harus mengungkapkannya.
Nuri menenangkan dirinya. Dia menyapu air mata haru yang ada di matanya dengan tisu. Menunduk dan mencoba menjawab walau dengan butir-butir air mata yang membasahi wajahnya.
 “Ayah, aku ingin tertawa bersama dengan  Yusuf dalam rasa, menangis bersamanya dalam duka, melangkah bersamanya dalam harap, dalam sebuah ikatan suci, sehingga saya bisa bercerita tentang debur kerinduan yang bermain di hati ini.”
            “Ayah, aku ingin mencintai  Yusuf karena Allah, bukan hanya karena sebuah nafsu, tapi karena harap meraih cinta-Nya.” Dada Nuri bergetar ketika dia mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang belum pernah diucapkannya untuk lelaki lain.
            “Ayah, aku hanya ingin mencintai seorang lelaki karena Allah. Hanya karena Allah semata. Izinkanlah anakmu ini merasakan cinta itu ayah.” Nuri tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Suaranya haru dalam serak, bu Hartawan ikut menangis mendengar kata-kata anaknya. Suasana haru menyelimuti ruangan itu.
            Semua menunggu. Entah jawaban apa yang akan diberikan pak Hartawan.