Nuri tertegun. Mirah teramat jarang berpikir tentang agama
sebelumnya. Wajahnya terlihat tenang ketika menjawab pertanyaan Nuri.
Mirah
bahkan memutuskan berjilbab tidak lama setelah dia mengalami musibah
tersebut. Mirah yang dulunya modis dan gaul berubah menjadi religius.
Dia bukan Mirah yang dulu lagi. Hanya cerianya saja yang tidak berubah.
Karena Mirah berjilbab, Nuri pun memutuskan untuk ikut berjilbab. Pada
awalnya hanya karena ikut-ikutan saja dan pengen tahu rasanya.Tapi lama
kelamaan Nuri merasa ketenangan hati setelah memakai jilbab, dan bila
dia melepaskan jilbabnya hatinya menjadi tidak tenang.
“Hoi, melamun neng.”
Suara Mirah membuat Nuri gelagapan. Lamunannya terhenti.
“Jadi makan apa? Kalau aku makan mie goreng aja.Kalau Nuri?”
“Sama deh. Minumnya es jeruk.”
“Mie goreng dan es jeruk dua mbak.”
Pelayan restoran mencatat pesanan lalu berlalu dari hadapan mereka.
“Nur,
aku dilamar.” Mirah berbicara sambil menunduk.Pikiran Nuri yang tadinya
bermain-main entah ke mana, menjadi fokus karenaperkataan Mirah.
“Dilamar? Dilamar siapa Mir?” Nuri menatap wajahsahabatnya yang masih menunduk.
“Said. Teman SMA kita dulu.” Mirah menatap Nuri dengan wajah memerah. Entah karena malu atau sebab lain.
Nuri
mencoba mengingat-ingat nama temannya yangbernama Said. Tapi di otaknya
tidak mampu mengingat nama teman SMA yang bernamaSaid.
“Said? Said yang mana Mir?” Nuri menyerah. Dia tidak mampu mengingat nama tersebut.
“Temannya Yusuf kamu.”
Nuri
hampir tersedak mendengar nama itu disebutkan.Nama pria yang menjadi
cinta pertamanya. Segera dia meminum air jeruknya. Mirah jadi kasihan
melihat Nuri.
“Kamu gak papa?”
“Iya, gak papa.”
Nuri menghirup napas sejenak.
“Said yang mana, aku gak ingat.” Nuri berkatajujur.
“Mungkin
kamu tidak kenal, soalnya anaknya memangagak pendiam. Dia anak kelas
tiga IPA lima. Anaknya putih dan lumayan alim. Dia ikut remaja mesjid
dulunya.” Mirah menjawab sambil membenahi posisi jilbabnya.Nuri masih
mencoba-coba mengingat nama tersebut.
“Ehmm. Kalian pacaran sejak kapan?”
“Haha. Gak pacaran lagi. Ketemu lagi baru dua bulanlalu. Terus dia melamar aku.”
“Ketemu gimana maksudnya? Kok dia langsung melamar?”Nuri bertanya penasaran.
“Entahlah. Takdir mungkin. Kami bertemu di sekolahtempat aku ngajar. Dia lagi mengantar kemenakannya.”
“Terus ...” Nuri ingin mengetahui kelanjutanceritanya.
“Terus
aku menyapanya. Kamu tahu, dia tersipu malu ketikaaku menyapanya.
Sebulan kami tidak bertemu, hingga akhirnya dia datang lagi.Dia datang
membawa kejutan yang sangat besar.”
“Dan ... .”
Coretan Pena Andi Zulfikar
Aku, kamu, dan pena yang terus melukis kata
Senin, 28 Oktober 2013
Sabtu, 26 Oktober 2013
bab 1 (Bagian 3)
Mirah menoleh ke belakang dan melihat sahabatnya telah
berada di belakangnya. Nuri, memakai jilbab biru yang lebar, nampak anggun.
Senyumnya yang tenang berbeda jauh dengan Nuri yang terlihat sangat ceria.
“Nuri.”
Senyum renyah Mirah terlihat mengembang. Teriaknya yang agak keras membuat
orang-orang di sekitarnya melirik ke arah mereka. Terpaksa Nuri memberi tanda
dengan memancangkan jari telunjuknya di bibirnya agar Mirah mengecilkan sedikit
suaranya.
“Gimana,
novel kamu dah ada yang laku gak?” Canda Nuri.
“Haha.
Lumayanlah, tadi sempat ada yang beli. Kamu gak mau beli? Lumayan buat nambah
koleksi buku kamu.” Mirah melirik Nuri dengan muka merayu.
“Haha. Gak
deh. Entar kamu lebih kaya dari aku kalau aku beli novel kamu. Soalnya kamu
dapat royaltinya banyak.” Canda Nuri sambil mencubit hidung sahabatnya.
“Aduh,
udah gak beli malah cubitin hidung aku. Belum diasuransiin tahu.” Mirah
memasang muka manyunnya. Nuri hanya tersenyum geli.
“Haha.
Ingat umur.” Canda Nuri lagi.
“What?
Umur memang sudah 25-an, tapi muka masih abege getu loh. Maklum bergaulnya ma anak-anak.”
Nuri hanya
tersenyum dan tak menanggapi candaan terakhir sahabatnya itu. Dia teringat
tujuannya ke sini adalah untuk ditraktir.
“Jadi kita
makan di mana?”
“Ehmm,
kamu maunya di mana?” Mirah balik bertanya.
“Mie Merik
aja.”
“Ayo.”
“By the way, bukunya aku beli deh.
Lumayan buat alas tidur.”
“Huh.”
Mirah berpura-pura kesal.
Nuri
menyikut Mirah pelan sambil tertawa. Mirah mengelak dari sikutan sahabatnya
itu.
Puas
becanda, mereka berdua berjalan ke arah kasir, membayar novel yang dibeli Nuri.
Ketika
mereka tiba di tempat kasir, seorang pengunjung yang antri melihat ke arah
Mirah, mencoba mengingat-ingat kapan dia melihat wajah tersebut. Dia tidak
menyadari bahwa wajah itu terkadang ada di bagian belakang novel-novel yang
dibuat oleh Mirah atau mungkin saja dia pernah melihatnya ketika Mirah diundang
menjadi pembicara di sebuah acara yang membahas tentang novel-novelnya. Mirah
hanya tersenyum melihat wanita tersebut melihatnya. Sang pengunjung membalas
senyumnya sambil tetap mencoba mengingat.
“Terima kasih.”
Nuri mengucapkan terima kasih setelah kasir
tersebut menyelesaikan tugasnya.
“Sama-sama.”
Kasir tersebut menjawab ramah.
***
Sepanjang
perjalanan, Mirah terlihat sangat ceria. Wanita berjilbab ini memang selalu
ceria, tapi Nuri tidak pernah melihat dia seceria ini. Sedari dulu memang Nuri
merasa persahabatannya dengan Mirah adalah hubungan yang unik. Nuri perlu
penyeimbang. Nuri merasa Mirah adalah orang yang tepat untuk menjadi sahabat.
Dulu waktu
SMA, Mirah adalah teman jalan Nuri. Mereka dulu punya geng. Geng The First namanya. Soalnya geng tersebut
memang terdiri dari anak-anak orang yang mempunyai status yang terhormat di SMA
Merdeka. SMA Merdeka merupakan salah satu sekolah favorit di Makassar waktu
itu.
Orang tua Mirah dulunya termasuk orang yang berada,
walau tidak sekaya keluarga Nuri. Orang tua Mirah adalah dokter bedah terkenal
di Makassar. Hingga suatu musibah menimpa mereka ketika melakukan perjalanan liburan
ke Malino. Mereka mengalami kecelakaan
ditabrak oleh sebuah mobil yang melaju kencang. Supir mobil yang menabrak
mereka juga tewas. Ayah Mirah, dr. Ferry, dan ibunya. dr. Yanti, tewas di tempat karena posisi mereka yang
berada di bagian paling depan. Sedangkan adik Mirah satu-satunya, Riki, harus
dirawat selama berhari-hari di ruang ICU. Untunglah dia masih diberikan umur
yang panjang oleh Allah.
Hanya
Mirah yang selamat dan tidak mengalami musibah apapun. Dia hanya mengalami
sedikit lecet di kepalanya. Mirah sempat down
karena musibah tersebut. Dia sempat menangis dan tidak mau keluar rumah
selama berhari-hari. Nuri yang merasa kasihan mengajak Mirah untuk tinggal di
rumahnya sampai dia dapat bangkit kembali. Orang tua Nuri setuju dengan
keinginan Mirah. Keluarga Nuri juga yang merawat Riki di rumah sakit dan mengurus
pemakaman orang tua Mirah. Karena memang keluarga Mirah sudah tidak ada yang
berdomisili di Makassar. Nenek dan kakek Mirah pun telah dipanggil ke
hadirat-Nya bertahun-tahun yang lalu. Kejadian itu menyebabkan Mirah merasa
sangat dekat dengan Nuri.
Sejak
musibah itu Mirah seakan mengalami pencerahan. Dari dulunya gadis yang manja
menjadi mandiri. Setelah Riki sembuh, dia pun kembali ke rumah mereka di
Pettarani. Mirah mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga Nuri yang
telah membantu mereka. Mirah bertekad untuk hidup mandiri.
“Mirah yakin bisa hidup berdua dengan Riki?”
“Entahlah. Saya hanya bisa pasrah
dengan takdir Allah.”
Jumat, 25 Oktober 2013
Bab 1 (bagian 2)
Setelah mengecilkan volume audionya, Nuri menyambung lagi
pembicaraannya. Terdengar suara Mirah mencari dirinya.
“Nur,
halo. Masih di sana?”
“Hadir
Jeng.”
“Kirain
dah tidur. Oh, lanjut lagi pembicaraan tadi. Honor menulis aku tuh tidak segede
hasil bisnis kamu Jeng. Jadi ya aku beda dengan kamu. Kalau aku tujuannya
memang buat cari makan, kalau kamu entah cari apa. Hehe.”
“Upss.
Rezeki itu bukan hanya dari segi material aja jeng. Kadang aku iri ma kamu.
Kamu bisa menggapai cita-cita kamu. Kamu punya semangat yang besar dalam
menjalani hidup ini. Aku harus belajar banyak dari Mirah. Aku kagum ma kamu dan
senang bersahabat denganmu.”
“Wah, jadi
terharu. Jangan buat aku sedih gitu dong neng. Jalan hidup tiap orang kan
berbeda-beda. Aku aja kalau lagi bokek pengen seperti kamu. Jadi orang kaya yang
segala kebutuhan hidupnya terpenuhi. Tapi aku nyadar, jalan hidup aku tidak
seperti kamu. Jalan hidup aku ya dengan bekerja keras dan mencari segala
kemungkinan. Kamu kan tahu aku anak yatim piatu.” Nada suara Mirah menurun,
berubah menjadi sedih.
Nuri
ikut merasakan kesedihan itu.
“Hoi, jadi
gimana? Jadi gak aku traktir?” Mirah kembali fokus ke tujuan utamanya. Dia
tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan.
“Haha.
Kenapa kamu gak ngajak cowok aja. Entar kita dikira pacaran lagi.” Canda Nuri.
“Sembarangan.
Kata pak ustadz, dosa tahu kalau berduaan ma cowok. Jadi kamu mau kan?”
“Aku masih
capek jeng. Gimana kalau entar sore aja?” Tawar Nuri.
“Ok. Entar
kamu sms aku ya kalau siap. Kita ketemunya di toko buku Medio aja. Sekalian aku mau melihat-lihat buku aku.”
“Sipp deh.”
“Kalau
gitu udahan dulu ya. Met tidur sobat. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam.”
Nuri menutup telepon genggamnya, memejamkan matanya. Dia merasa kelelahan itu
muncul lagi.
What a life!
Dia berharap dapat bermimpi indah dalam tidurnya kali ini.
***
Mirah
menatap buku yang ada di rak novel. Ada rasa bangga dalam dirinya. Matanya
berbinar-binar seperti anak kecil yang melihat mainan yang dia idamkan sejak
lama. Di cover buku tersebut tertulis namanya. Mirah Mustika. Senja di Ufuk Rindu judulnya.
Gambar pantai yang indah menjadi cover bukunya.
Mirah
mengambil novel tersebut dan membuka halaman demi halaman. Dia merasa cukup
puas dengan design serta lay out novelnya. Dia membuka bagian
paling belakang dari novelnya tersebut. Foto wajahnya yang menoleh ke samping
terlihat di biodata penulis.
Alhamdulillah.
Mirah memuji karunia Allah dalam hatinya.
Suara hape
yang menyala mengagetkan dirinya. Terdengar bunyi suara kokok ayam dari hape
tersebut. Orang-orang menatap Mirah, suara kokok ayam tersebut terdengar cukup
keras. Mirah lupa menyesuaikan volumenya. Dengan tergesa-gesa Mirah mencari
hape yang dibawanya di tasnya. Tangannya merogoh-rogoh tasnya. Dia melirik ke
dalam tasnya, hapenya terselip di antara pernik-pernik yang ada di dalam
tasnya. Dapat!
Mirah melirik nama orang yang tertera di layar
hapenya. Nuri yang menghubunginya. Wajah
Mirah berubah menjadi sumringah.
“Assalamu’alaikum
sobat.”
“Wa’alaikumussalam.
Ada di mana?” Nuri bertanya tanpa basa-basi.
“Di toko
buku Medio. Kamu di mana?”
“Aku lagi on the way ke sana. Ya, udah tunggu aku di sana.”
“Ok.”
“Assalamualaikum.”
‘Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh.”
Mirah memasukkan
hapenya kembail ke dalam tasnya. Namun sebelumnya dia mengecilkan dulu volume
dering hapenya. Suara kokok ayam tadi bisa membuat dia menjadi perhatian orang
di toko buku ini. Untung saja dia tidak memilih bunyi hewan yang lain, bunyi
tapak kaki kuda sedang
berlari misalnya. Nanti orang mengira ada taman safari di tengah toko buku.
Setelah menyimpan hapenya, dia memutari rak bagian
novel tersebut dan mengambil satu nover yang bersampul best seller di covernya. Dia membandingkan novel yang ditulisnya dengan
novel best seller tersebut sejenak.
Dia membuka halaman demi halaman dan terlarut dalam ceritanya. Ini mirip dengan
penelitian baginya. Terkadang kita harus belajar dari karya orang lain untuk
menghasilkan karya yang bagus. Saking seriusnya, Mirah seperti orang autis yang
ada dalam toko buku. Perhatiannya hanya tertuju pada satu hal, membaca buku. Tak
dipedulikannya orang yang berlalu lalang di belakangnya.
“Mirah.”
Bisikan lembut terdengar di telinga Mirah. Suara yang merubah sense dalam jiwanya, dari serius menjadi penuh ceria.
Bab 1 (bagian 1)
1
Upps. Sampai juga di rumah!
Nuri
membuka pintu kamarnya. Terasa segar! Tercium aroma wewangian parfum ruangan
kesukaannya dari kamarnya. Nuri
menutup matanya dan menghirup aroma tersebut dalam-dalam. Dalam pikirannya
terbayang suasana taman yang penuh dengan bunga-bungaan. Harumnya menyerbak
memasuki hidungnya, memberi rasa nyaman dan mengobati rasa penat. Ada perasaan
nyaman yang hadir di jiwa Nuri.
Kamar yang dia rindukan. Sudah seminggu ini dia
sibuk hilir mudik ke sana ke mari jauh dari kenyamanan rumahnya. Menjalankan
suatu hidup yang penuh dengan kesibukan. Termasuk kegiatan yang telah
dilewatinya ini. Syukurlah semua selesai sudah.
Tito, adeknya sudah lebih dahulu masuk ke dalam
kamarnya. Tito ditugaskan menemaninya oleh ibunya, sekalian belajar bisnis kata
ibunya. Padahal Tito masih SMA. Tapi dasar Tito masih berjiwa remaja.
Dia lebih sibuk dengan mainannya dan mencari kaset game di
Jakarta daripada mengikuti kegiatan Nuri.
Telepon genggam
di tangan Nuri bergetar. Tangan Nuri merasakan getaran tersebut bermain-main di
kulitnya yang lembut. Nuri menatap malas ke arah telepon genggamnya. Bola
matanya sayu dan menyipit. Nuri berharap bukan panggilan kerjaan lagi untuknya.
Di layar teleponnya, terlihat wajah seseorang yang sangat dikenalnya. Mirah,
sahabat akrabnya sejak SMA. Nuri menjawab teleponnya, berharap ada sesuatu yang
penting. Dia merasa lelah sekali, maklum saja dia baru saja pulang dari
Jakarta. Badannya masih terasa pegal, dan dia butuh istirahat.
“Assalamu’alaykum.”
Salam Nuri setelah mengangkat teleponnya.
“Hoi Eka
Nuri Kusumaningsih. Ke mana saja? kok baru diangkat.” Suara Mirah yang ceria
membuat kantuk Nuri sedikit menghilang. Suara tersebut tidak juga berubah,
mengagetkan Nuri namun juga membuat dirinya terkadang ikut menjadi bersemangat
karenanya.
“Hoi,
Mirah Mustika, kamu gak sopan ya. Balas dulu dong salamnya.” Sambung Nuri
sambil tersenyum. Nuri mengubah posisi tubuhnya. Dia duduk di tepi ranjang,
sambil memeluk bantal.
“Oia, lupa. Wa’alaykumussalam warahmatullahi
wabarakatuh. Udah berapa kali aku telepon, kok telepon kamu tidak aktif? Sibuk
apaan?”
“Aku baru
pulang dari Jakarta. Masih capek. Tadi mungkin waktu kamu nelepon aku masih di
pesawat.” Nuri menjawab sambil mengubah lagi posisi tubuhnya. Dia tiduran sambil
memeluk bantal yang dipeluknya erat. Terasa lebih menyenangkan dari kamar hotel
manapun. Tiada tempat seindah rumah.
“Ngapain
di Jakarta Jeng?”
“Nyari
makan Neng. Aku capek banget nih, maklum acaranya padat. Hehe. Banyak fans.”
Nuri menghela napas sejenak. Mirah menggoda dengan ikut-ikutan menghela napas.
“Aku diundang jadi pembicara dalam acara motivasi
bisnis mengantikan ayah oleh Sekolah Bisnis Internasional milik rekan bisnis
ayah di sana. Soalnya ayah lagi urusan bisnis ke Singapura.”
“Haha.
Kalau kamu bilang ke Jakarta buat cari makan, nah kalau saya cari berlian dong.
Kamu kan pebisnis sukses, buat apa juga acara kayak gituan. Paling buat kamu
honornya gak seberapa.”
“Hoho,
jangan salah jeng Mirah. Semua ini berkaitan. Jadi pembicara dalam acara seperti
itu merupakan bagian dari pencitraan. You
know, bisnis itu perlu pencitraan. Kalau ada televisi yang meliput, nama
perusahaan aku akan lebih terkenal. Makanya kamu gabung aja dengan perusahaan
aku, biar kamu jadi staff aku dan bisa aku suruh-suruh. Hahaha.” Canda Nuri.
“Ogah.
Mending aku jadi guru TK aja. Ketemu Riko ama Amay, muridku yang lucu-lucu.
Kerja di perusahaan kamu bikin stress. Entar aku jadi banyak rambut putih.
Hahaha.”
Nuri terdiam.
Raut wajahnya berubah. Ada rasa tidak
nyaman dan iri mendengar perkataan sahabatnya itu. Mirah nampak sangat
menikmati pekerjaannya. Ada nuansa suka dalam ucapannya. Mengingatkan Nuri akan
sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya. Nuri tak bersuara beberapa detik.
Sampai Mirah memutuskan melanjutkan ucapan-ucapannya.
“Hoi, dari
pada kamu bengong, mending kita main aja ke Mal Panakkukkang. Nonton atau makan
kek. Tenang, biar saya saja yang traktir. Soalnya honor menulisku baru aja
keluar. Ok?”
“Honor
menulis apa lagi jeng? Makin exist aja
sebagai penulis. Aku jadi iri dan pengen menulis juga. Kira-kira kamu mau gak
mengajarin aku cara menulis buku?” Nuri memuji tulus.
“Itu loh,
novelku yang baru sudah terbit. Aku tadi ditelepon penerbit, dikabarin kalau
royalti aku dah dikirim. Alhamdulillah. Kalau kamu mau belajar nulis, gampang
saja sebenarnya, asal ada niat aja dulu, ma usaha. Tapi buat kamu honornya
kecil. Hahaha. Ndak sebanding lah ma bisnis kamu.” Suara tawa Mirah terdengar
keras di telinga Nuri. Memekakkan telinga. Nuri lalu mengecilkan volume audio hapenya
dengan mengklik tombol di samping hapenya. Mungkin saja hal tersebut karena
volume audio hapenya yang terlalu besar.
Seindah Puisi Rindu (Sebuah Novel)
Prolog
Pak Hartawan menarik napas pelan
memasuki rongga dadanya. Keningnya berkerut. Dia menatap Nuri, memasuki ruang
hati anaknya dan bertanya. Di lubuk hatinya, dia berharap Nuri memilih lelaki
yang –menurutnya- lebih pantas sebagai pasangan hidupnya.
“Baiklah. Bagaimana perasaan kamu terhadap Yusuf nak?” Suara itu lembut,
namun membuat jantung Nuri berdetak kencang.
Nuri memberanikan diri menegakkan wajahnya.
Untuk pertama kalinya dia menyatakan perasaan di hadapan Yusuf sekaligus
menjawab pertanyaan Ayahnya. Perasaan rindu yang selama ini dia pendam,
akhirnya harus tumpah malam itu disaksikan oleh orang-orang yang disayanginya.
Mata Nuri basah. Dia tidak mampu menahan lagi. Lehernya
seperti tercekak kaku. Namun dia harus mengungkapkannya.
Nuri menenangkan dirinya. Dia menyapu air mata haru yang ada di matanya
dengan tisu. Menunduk dan mencoba menjawab walau dengan butir-butir air mata
yang membasahi wajahnya.
“Ayah, aku ingin tertawa bersama
dengan Yusuf dalam rasa, menangis
bersamanya dalam duka, melangkah bersamanya dalam harap, dalam sebuah ikatan
suci, sehingga saya bisa bercerita tentang debur kerinduan yang bermain di hati
ini.”
“Ayah, aku ingin mencintai Yusuf karena Allah, bukan hanya karena sebuah
nafsu, tapi karena harap meraih cinta-Nya.” Dada Nuri bergetar ketika dia
mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang belum pernah diucapkannya untuk
lelaki lain.
“Ayah, aku hanya ingin mencintai
seorang lelaki karena Allah. Hanya karena Allah semata. Izinkanlah anakmu ini
merasakan cinta itu ayah.” Nuri tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Suaranya
haru dalam serak, bu Hartawan ikut menangis mendengar kata-kata anaknya.
Suasana haru menyelimuti ruangan itu.
Semua menunggu. Entah jawaban apa
yang akan diberikan pak Hartawan.
Langganan:
Postingan (Atom)